TATA CARA PELAKSANAAN AMDAL 4

Prosedur Analisa Dampak Lingkungan Akibat Pemanfaatan Air Tanah Secara Berlebihan

Pengenalan Air Tanah.

Air merupakan kebutuhan utama dalam kehidupan untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun untuk menunjang pembangunan. Seluruh aspek kehidupan membutuhkan air bersih. Kebutuhan akan air selalu mengalami peningkatan sejalan dengan pertumbuhan penduduk untuk memanfaatkannya dalam berbagai kebutuhan seperti untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dll.

Pada masa yang akan datang, pengadaan air bersih akan menjadi suatu masalah pelik jika pemanfaatannya tidak dikelola dengan baik mulai saat ini. Masalah ini dapat diatasi jika penggunaan air sudah diketahui dan dimanfaatkan secara efisien disamping mencari sumber-sumber lain.

Salah satu sumber daya air adalah air tanah. Secara global jika dilihat dari segi volume, air tanah merupakan sumber air yang penting dan potensial karena kapasitasnya paling besar (30,61%) dibandingkan dengan sumber air tawar lainnya. Ilmu yang mempelajari air tanah adalah hidrogeologi. Aparatur Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Propinsi dalam melaksanakan tugasnya perlu dibekali hidrogeologi, disesuaikan dengan tugas fungsinya.

Hidrogeologi (hidro- berarti air, dan -geologi berarti ilmu mengenai batuan) merupakan bagian dari hidrologi yang mempelajari penyebaran dan pergerakan air tanah dalam tanah dan batuan di kerak Bumi. Dalam prosesnya studi ini menyangkut aspek-aspek fisika dan kimia yang terjadi di dekat atau di bawah permukaan tanah mencakup keterdapatan, transportasi material (aliran), penyebaran, reaksi kimia, perubahan temperatur, perubahan topografi dan lainnya.

Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau bebatuan di bawah permukaan tanah. Air tanah merupakan salah satu sumber daya air yang keberadaannya terbatas dan kerusakannya dapat mengakibatkan dampak yang luas serta pemulihannya sulit dilakukan.

Selain air sungai dan air hujan, air tanah juga mempunyai peranan yang sangat penting terutama dalam menjaga keseimbangan dan ketersediaan bahan baku air untuk kepentingan rumah tangga (domestik) maupun untuk kepentingan industri. Dibeberapa daerah, ketergantungan pasokan air bersih dan air tanah telah mencapai ± 70%.

Manfaat / Peranan Air Tanah 

  • Kebutuhan pokok (air minum dan rumah tangga), lebih dari 70% penduduk masih memanfaatkan air tanah.
  • Kebutuhan industri, sekitar 90% masih menggantungkan pada air tanah.
  • Kebutuhan untuk pertanian, dibeberapa daerah banyak dikembangkan dari air tanah (P2AT);
  • Kebutuhan air bersih untuk perkotaan dan pedesaan banyak yang dipenuhi dari air tanah (PDAM, PPSAB, DGSDM);
  • Kebutuhan untuk perkebunan, banyak dikembangkan oleh perkebunan tebu, kelapa sawit, teh, karet;
  • Kebutuhan dalam pertambangan : pencucian, dewatering, dan untuk fasilitas umum;
  • Fasilitas umum (MCK, air minum), dibanyak perkantoran, peribadatan, rumah sakit, panti asuhan, dll;

Dampak Negatif Pengambilan Air Tanah

Karena air tanah adalah salah satu sumber daya alam yang terbaharui (renewable), maka pengertian ini sering menimbulkan pemahaman yang keliru dari para pengguna air tanah. Kita memang dikaruniai oleh Tuhan curah hujan yang melimpah, sebagai sumber utama imbuhan (recharge) air tanah, namun tidak semua air hujan tersebut meresap ke dalam tanah dan mengisi kembali akuifer tergantung pada kondisi / faktor hidrogeologi, faktor penggunaan lahan di permukaan, dan bahkan perilaku manusia yang bermukim dan bekerja di atasnya. Oleh sebab itu pengisian kembali tersebut umumnya berlangsung seketika, dalam bilangan hari, bulan, tahun, dekade, abad, bahkan milenium. Jadi air tanah memang terbaharui, tapi sangat relatif waktu pembaharuannya.

Mengingat sifat air tanah seperti telah disinggung diatas, maka tidak seperti halnya air permukaan, pemulihan terhadap air tanah yang telah mengalami penurunan, baik kuantitas maupun kualitasnya, akan membutuhkan keahlian yang tinggi, biaya yang mahal, dan waktu yang lama. Berdasarkan pengalaman-pengalaman negara lain, usaha-usaha pemulihan (restorasi) teresebut tidak akan pernah dapat mengembalikan air tanah pada kondisi awalnya (initial state).

Pengambilan air tanah yang hanya menekankan asas kemanfaatan, tetapi kurang memberi perhatian kepada asas keseimbangan dan kelestarian akan memberikan dampak negatif terhadap sumber daya tersebut, yang berupa degradasi kuantitas maupun kualitas air tanah, yang pada akhirnya dapat juga mengakibatkan kerusakan lingkungan sekitar.

Dampak negatif dari pengambilan air tanah secara berlebihan terhadap air tanah itu sendiri dan lingkungan sekitar adalah :
Penurunan Muka Air Tanah.

Pengambilan air tanah yang terus meningkat di daerah pengambilan air tanah intesif akan menyebabkan penurunan muka air tanah secara meluas yang mencerminkan terjadinya penurunan kuantitas air tanah.
Pencemaran Air Tanah.

Akibat pengambilan air tanah yang intensif di daerah tertentu dapat menimbulkan pencemaran air tanah dalam yang berasal dari air tanah dangkal, sehingga kualitas air tanah yang semula baik menjadi menurun dan bahkan tidak dapat dipergunakan sebagai bahan baku air minum. Sedangkan di daerah dataran pantai  akibat pengambilan air tanah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya intrusi air laut karena pergerakan air laut ke air tanah.
Amblesan Tanah.

Amblesan tanah (land subsidence) timbul akibat pengambilan air tanah yang berlebihan pada lapisan pembawa air (akuifer) yang tertekan (confined aquifers), air tanah yang tersimpan dalam pori-pori lapisan penutup akuifer akan terperas keluar yang mengakibatkan penyusutan lapisan penutup tersebut, akibatnya terjadi amblesan tanah di permukaan.

Permasalahan dan Tantangan Pengelolaan Air Tanah

Permasalahan.

Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan air tanah adalah bagaimana menyikapi antara terbatasnya ketersediaan air tanah di alam dan peningkatan pengambilan air tanah ini karena tuntutan kebutuhan akan air yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.

Kerusakan lingkungan di daerah imbuhan air tanah karena penggundulan hutan dan alih fungsi lahan menyebabkan turunnya kemampuan resapan air. Pembentukan air tanah menjadi berkurang menyebabkan cadangan air tanah pada cekungan air tanah mengalami penurunan, hal ini ditunjukkan dengan semakin mengecilnya debit mata air dan muka air tanah secara regional menjadi lebih dalam. Setiap musim kemarau di beberapa daerah mengalami kekeringan dan kekurangan air. Sebaliknya pada musim hujan pada daerah yang sama terjadi banjir.

Di beberapa kota besar, pengambilan air tanahnya sudah begitu intensif. Akibatnya di beberapa tempat di kota-kota ini telah terjadi kemerosotan kuantitas, kualitas dan bahkan lingkungan air tanah. Di daerah-daerah pengambilan air tanah intensif, sumur penduduk banyak yang kering atau air tanahnya tercemar. Akibatnya di daerah tersebut kesulitan air bersih, di beberapa tempat telah terjadi konflik antara pihak industri dan masyarakat.

Salah satu penyebab krisis air  di dunia sebagaimana terungkap pada 2nd World Water Forum di Den Haag adalah kelemahan penyelenggaraan (governance) pengelolaan air di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Tantangan ini semakin bertambah berat dengan meningkatnya kebutuhan akan air untuk memenuhi kebutuhan pokok penduduk yang semakin bertambah banyak, pelayanan umum di pusat-pusat perkantoran dan pembelanjaan, industri, pertanian, pertambangan, serta untuk keperluan sektor lain yang terus mengalami perkembangan.

Adanya kelemahan dalam menyelenggarakan pengelolaan air tanah di Indonesia ditemui berbagai permasalahan, antara lain :

  • Dalam pengelolaan sumber daya air, yang terdiri dari air hujan, air permukaan, air tanah, sulit dilakukan secara koordinasi.
  • Sentralisasi pengelolaan yang terlalu kuat, berakibat memperpanjang sistem pengambilan keputusan.
  • Desentralisasi pengelolaan sampai tingkat kabupaten/kota cenderung mengabaikan prinsip pengelolaan cekungan air tanah.
  • Kebijakan pengelolaan yang belum menjamin :
  1. Hak setiap individu untuk mendapatkan air termasuk air tanah guna memenuhi kebutuhan pokok hidup;
  2. Hak dasar masyarakat memperoleh akses penyediaan air untuk berbagai keperluan;
  3. Pemanfaatan air tanah yang berkelanjutan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;
  4. Perlindungan air tanah agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai demi kesejahteraan umat manusia;
  5. Wewenang dan tanggungjawab pelaksanaan pengelolaan air tanah;
  6. Pelaksanaan koordinasi pengelolaan air tanah antar instansi Pemerintah dan atau antar Pemerintah Daerah guna mengoptimalkan pelaksanaan konservasi dan pendayagunaan air tanah;
  7. Keterpaduan antara air tanah dan air permukaan sebagai upaya mengefektifkan pengelolaan sumber daya air;
  8. Pelaksanaan penggunaan yang saling menunjang antara air tanah dan air permukaan guna mengatasi kekurangan air.
  • Belum terbentuk jaringan data dan informasi air tanah yang baik antar lembaga pengumpul atau pengelola data air tanah.
  • Pemanfaatan air  tanah secara parsial, kurang berkeadilan, terutama bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan air guna memenuhi kebutuhan dasarnya.
  • Pemanfaatan lebih menitikberatkan pada eksploitasi untuk mendatkan pendapatan bagi daerah dari pada konservasinya.
  • Data dan informasi air tanah yang kurang memadai baik kuantitas maupun kualitasnya.
  • Degradasi kualitas, kuantitas dan lingkungan air tanah akibat pengambilan air tanah yang berlebihan, pencemaran serta perubahan fungsi lahan, terutama di cekungan air tanah di perkotaan.
  • Keterbatasan sumber daya (manusia, peralatan, biaya) baik di pusat maupun daerah, menyebabkan pengelolaan air tanah kurang efektif dilaksanakan.
  • Pengawasan dan penengakan hukum yang lemah atas setiap pelanggaran yang terjadi terhadap peraturan pengelolaan air tanah yang ada.
  • Konsep pengelolaan dan konservasi air tanah tidak didasarkan pada konsep pengelolaan cekungan air tanah, tetapi lebih mendasarkan pada pengelolaan sumur (well management) dan juga mendasarkan pada batas administrasi.
  • Masih terbatasnya pengetahuan masyarakat terhadap pemahaman air tanah, sehingga kurang peduli terhadap keberadaan dan fungsi air tanah, baik kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya.

Tantangan.

Banyaknya permasalahan dan kendala yang masih ada, baik yang bersifat teknis maupun non teknis sangat berpengaruh pada sasaran pelaksanaan pengelolaan air tanah dan konservasinya. Dengan demikian dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, maka pelaksanaan pengelolaan air tanah menghadapi beberapa tantangan, antara lain seperti berikut :

  • Pengelolaan secara terpadu antara air tanah dan air permukaan, hal ini dengan menyadari bahwa air tanah adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem dan berinteraksi dengan air permukaan.
  • Menerapkan konsep dasar pengelolaan air tanah secara total yang memadukan konsep pengelolaan Groundwater Basin dan River Basin.
  • Desentralisasi pengelolaan dengan cara memberdayakan daerah untuk mengelola air tanah dalam lingkup wilayahnya tanpa mengabaikan sifat keterdapatan dan aliran air tanah serta prinsip-prinsip pengelolaan akuifer lintas batas.
  • Pemenuhan hak dasar yang menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air dari air tanah di daerah yang kondisi air tanahnya memungkinkan bagi kebutuhan pokok sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif.
  • Ketersediaan data, informasi dan jaringan informasi air tanah yang terpadu di dasarkan pada data keaitanahan yang andal, tepat, akurat, dan berkesinambungan, yang mencakup seluruh wilayah Indonesia.
  • Keberlanjutan ketersediaan air tanah dengan menjamin keseimbangan antara pemanfaatan dan ketersediaan air tanah sebagai bagian dari ekosistem.
  • Pemanfaatan air saling menunjang, yaitu menciptakan keterpaduan pemanfaatan air tanah, air permukaan dan air hujan.
  • Ketersediaan sumber daya (keahlian, peralatan, dan biaya) pengelolaan, yaitu dengan memberdayakan sumber daya dari masyarakat, swasta, para pihak berkepentingan, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Dasar Hukum Pengelolaan Air Tanah.

Sebagai kekayaan nasional yang berperan vital bagi kehidupan rakyat, air tanah di Indonesia dikuasai oleh Negara untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat di segala bidang sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, politik maupun ketahanan nasional.

Oleh karenanya air tanah harus dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Berdasarkan asas tersebut maka air tanah harus dikelola secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan.

Pengelolaan air tanah dilaksanakan dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras, serta pengelolaan air tanah didasarkan pada cekungan air tanah.

Dalam melakukan pengelolaan air tanah, aspek hukum yang melandasi pengelolaan air tanah di Indonesia meliputi :

  • Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3). Disini tersirat bahwa air yang terkandung di dalam buku ini perlu dikelola dan dilindungi agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
  • Ketetapan MPR, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dalam GBHN diamanatkan bahwa dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan pengembangan tata guna air (termasuk air tanah) perlu diberikan pada penyediaan air yang cukup dan bersih serta berkesinambungan, mencegah kemerosotan mutu dan kelestarian air serta setiap perubahan keadaan dan fungsi lingkungan berikut unsurnya perlu terus dinilai dan dikendalikan secara seksama agar pengamanan dan perlindungannya dapat dilaksanakan setepat mungkin.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air Sebagai Pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah Sebagai Pelaksana ketentuan Pasal 10, Pasal 12 ayat (3), Pasal 13 ayat (5), Pasal 37 ayat (3), Pasal 57 ayat (3), Pasal 58 ayat (2), Pasal 60, Pasal 69, dan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
  • Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor : 1451.K/10/MEM/2000 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pemerintahan di Bidang Pengelolaan Air Tanah.

Khusus di Provinsi Maluku, telah ditetapkan Peraturan Daerah Provinsi Maluku No. 08 Tahun 2004 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, serta Peraturan Gubernur Maluku No. 383 Tahun 2005 tentang Petunjuk Pelaksanan Peraturan Daerah Provinsi Maluku No. 08 Tahun 2004 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

TATA CARA PELAKSANAN AMDAL 3

Prosedur Analisa Dampak Negatif Pertambangan pada Lingkungan

Kegiatan penambangan apabila dilakukan di kawasan hutan dapat merusak ekosistem hutan. Apabila tidak dikelola dengan baik, penambangan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan secara keseluruhan dalam bentuk pencemaran air, tanah dan udara.

Pencemaran lingkungan adalah suatu keadaan yang terjadi karena perubahan kondisi tata lingkungan (tanah, udara dan air) yang tidak menguntungkan (merusak dan merugikan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan) yang disebabkan oleh kehadiran benda-benda asing (seperti sampah, limbah industri, minyak, logam berbahaya, dsb.) sebagai akibat perbuatan manusia, sehingga mengakibatkan lingkungan tersebut tidak berfungsi seperti semula (Susilo, 2003).

Kasus Teluk Buyat (Sulawesi Utara) dan Minamata (Jepang) adalah contoh kasus keracunan logam berat. Logam berat yang berasal dari limbah tailing perusahaan tambang serta limbah penambang tradisional merupakan sebagian besar sumber limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang mencemari lingkungan.

Sebagai contoh, pada kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil, pengolahan bijih dilakukan dengan proses amalgamasi di mana merkuri (Hg) digunakan sebagai media untuk mengikat emas. Mengingat sifat merkuri yang berbahaya, maka penyebaran logam ini perlu diawasi agar penanggulangannya dapat dilakukan sedini mungkin secara terarah. Selain itu, untuk menekan jumlah limbah merkuri, maka perlu dilakukan perbaikan sistem pengolahan yang dapat menekan jumlah limbah yang dihasilkan akibat pengolahan dan pemurnian emas.

Sedangkan pertambangan skala besar, tailing yang dihasilkan lebih banyak lagi. Pelaku tambang selalu mengincar bahan tambang yang tersimpan jauh di dalam tanah, karena jumlahnya lebih banyak dan memiliki kualitas lebih baik. Untuk mencapai wilayah konsentrasi mineral di dalam tanah, perusahaan tambang melakukan penggalian dimulai dengan mengupas tanah bagian atas (top soil). Top Soil kemudian disimpan di suatu tempat agar bisa digunakan lagi untuk penghijauan setelah penambangan. Tahapan selanjutnya adalah menggali batuan yang mengandung mineral tertentu, untuk selanjutnya dibawa ke processing plant dan diolah. Pada saat pemrosesan inilah tailing dihasilkan. Sebagai limbah sisa batuan dalam tanah, tailing pasti memiliki kandungan logam lain ketika dibuang.

Limbah tailing merupakan produk samping, reagen sisa, serta hasil pengolahan pertambangan yang tidak diperlukan. Tailing hasil penambangan emas biasanya mengandung mineral inert (tidak aktif). Mineral tersebut antara lain: kwarsa, kalsit dan berbagai jenis aluminosilikat. Tailing hasil penambangan emas mengandung salah satu atau lebih bahan berbahaya beracun seperti Arsen (As), Kadmium (Cd), Timbal (Pb), Merkuri (Hg), Sianida (CN) dan lainnya. Sebagian logam-logam yang berada dalam tailing adalah logam berat yang masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

Misalnya, Merkuri adalah unsur kimia sangat beracun (toxic). Unsur ini bila bercampur dengan enzime di dalam tubuh manusia menyebabkan hilangnya kemampuan enzime untuk bertindak sebagai katalisator untuk fungsi tubuh yang penting. Logam Hg ini dapat terserap ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan kulit. Karena sifatnya beracun dan cukup volatil, maka uap merkuri sangat berbahaya jika terhisap oleh manusia, meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Merkuri bersifat racun yang kumulatif, dalam arti sejumlah kecil merkuri yang terserap dalam tubuh dalam jangka waktu lama akan menimbulkan bahaya. Bahaya penyakit yang ditimbulkan oleh senyawa merkuri di antaranya kerusakan rambut dan gigi, hilang daya ingat dan terganggunya sistem syaraf.

Untuk mencapai hal tersebut di atas, maka diperlukan upaya pendekatan melalui penanganan tailing atau limbah B3 yang berwawasan lingkungan dan sekaligus peningkatan efisiensi penggunaan merkuri untuk meningkatkan perolehan (recovery) logam emas.

Alternatif Solusi

Pencegahan pencemaran adalah tindakan mencegah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia agar kualitasnya tidak turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Dalam bentuk, pertama, remediasi, yaitu kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Ada dua jenis remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site adalah pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri atas pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi.
Pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang tercemar dan kemudian dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar. Caranya, tanah tersebut disimpan di bak/tangki yang kedap, kemudian zat pembersih dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya, zat pencemar dipompakan keluar dari bak yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan off-site ini jauh lebih mahal dan rumit.

Kedua, bioremediasi, yaitu proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air). Ketiga, penggunaan alat (retort-amalgam) dalam pemijaran emas perlu dilakukan agar dapat mengurangi pencemaran Hg.

Keempat, perlu adanya kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan atau kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam menyusun kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan. Sebelum dilaksanakannya, kegiatan penambangan sudah dapat diperkirakan dahulu dampaknya terhadap lingkungan. Kajian ini harus dilaksanakan, diawasi dan dipantau dengan baik dan terus-menerus implementasinya, bukan sekedar formalitas kebutuhan administrasi.

Kelima, penyuluhan kepada masyarakat tentang bahayanya Hg dan B3 lainnya perlu dilakukan. Bagi tenaga kesehatan perlu ada pelatihan surveilans risiko kesehatan masyarakat akibat pencemaran B3 di wilayah penambangan.

TATA CARA PELAKSANAN AMDAL 2

prosedur analisa Dampak Kebakaran Hutan

Dampak yang ditimbulkan kebakaran hutan ternyata sangat kompleks. Kebakaran hutan tidak hanya berdampak terhadap ekologi dan mengakibatkan kerusakan lingkungan saja. Namun dampak dari kebakaran hutan ternyata mencakup bidang-bidang lain.

Menurut Rully Syumanda (2003), menyebutkan ada 4 aspek yang terindikasi sebagai dampak dari kebakaran hutan. Keempat dampak tersebut mencakup dampak terhadap kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi, dampak terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan, dampak terhadap hubungan antar negara, serta dampak terhadap perhubungan dan pariwisata.

Dampak Terhadap Sosial, Budaya, dan Ekonomi. Kebakaran hutan memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi yang diantaranya meliputi:

  1. Terganggunya aktivitas sehari-hari; Asap yang diakibatkan oleh kebakaran hutan secara otomatis mengganggu aktivitas manusia sehari-hari, apalagi bagi yang aktivitasnya dilakukan di luar ruangan.
  2. Menurunnya produktivitas; Terganggunya aktivitas manusia akibat kebakaran hutan dapat mempengaruhi produktivitas dan penghasilan.
  3. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan; Selain itu, bagi masyarakat yang menggantungkan hidup dari mengolah hasil hutan, dengan terbakarnya hutan berarti hilang pula area kerja (mata pencarian).
  4. Meningkatnya hama; Kebakaran hutan akan memusnahkan sebagian spesies dan merusak kesimbangan alam sehingga spesies-spesies yang berpotensi menjadi hama tidak terkontrol. Selain itu, terbakarnya hutan akan membuat sebagian binatang kehilangan habitat yang kemudian memaksa mereka untuk keluar dari hutan dan menjadi hama seperti gajah, monyet, dan binatang lain.
  5. Terganggunya kesehatan; Kebakaran hutan berakibat pada pencemaran udara oleh debu, gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain.
  6. Tersedotnya anggaran negara; Setiap tahunnya diperlukan biaya yang besar untuk menangani (menghentikan) kebakaran hutan. Pun untuk merehabilitasi hutan yang terbakar serta berbagai dampak lain semisal kesehatan masyarakat dan bencana alam yang diambilkan dari kas negara.
  7. Menurunnya devisa negara. Hutan telah menjadi salah satu sumber devisa negara baik dari kayu maupun produk-produk non kayu lainnya, termasuk pariwisata. Dengan terbakarnya hutan sumber devisa akan musnah. Selain itu, menurunnya produktivitas akibat kebakaran hutan pun pada akhirnya berpengaruh pada devisa negara.

A

Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan Lingkungan. Kebakaran hutan memberikan dampak langsung terhadap ekologi dan lingkungan yang diantaranya adalah:

  1. Hilangnya sejumlah spesies; selain membakar aneka flora, kebakaran hutan juga mengancam kelangsungan hidup sejumlah binatang. Bebrabagai spesies endemik (tumbuhan maupun hewan) terancam punah akibat kebakaran hutan.
  2. Erosi; Hutan dengan tanamannya berfungsi sebagai penahan erosi. Ketika tanaman musnah akibat kebakaran hutan akan menyisakan lahan hutan yang mudah terkena erosi baik oleh air hujan bahkan angin sekalipun.
  3. Alih fungsi hutan; Kawasan hutan yang terbakar membutuhkan waktu yang lama untuk kembali menjadi hutan. Bahkan sering kali hutan mengalami perubahan peruntukan menjadi perkebunan atau padang ilalang.
  4. Penurunan kualitas air; Salah satu fungsi ekologis hutan adalah dalam daur hidrologis. Terbakarnya hutan memberikan dampak hilangnya kemampuan hutan menyerap dan menyimpan air hujan.
  5. Pemanasan global; Kebakaran hutan menghasilkan asap dan gas CO2 dan gas lainnya. Selain itu, dengan terbakarnya hutan akan menurunkan kemampuan hutan sebagai penyimpan karbon. Keduanya berpengaruh besar pada perubahan iklim dan pemansan global.
  6. Sendimentasi sungai; Debu dan sisa pembakaran yang terbawa erosi akan mengendap di sungai dan menimbulkan pendangkalan.
  7. Meningkatnya bencana alam; Terganggunya fungsi ekologi hutan akibat kebakaran hutan membuat intensitas bencana alam (banjir, tanah longsor, dan kekeringan) meningkat.

Dampak Terhadap Hubungan Antar Negara; Asap hasil kebakaran hutan menjadi masalah serius bukan hanya di daerah sekitar hutan saja. Asap terbawa angin hingga ke daerah lain bahkan mencapai berbagai negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Dampak Terhadap Perhubungan dan Pariwisata; Kebakaran hutan pun berdampak pada pariwisata baik secara langsung ataupun tidak. Dampaknya seperti ditutupnya obyek wisata hutan dan berbagai sarana pendukungnya, terganggunya transportasi, terutama transportasi udara. Kesemunya berakibat pada penurunan tingkat wisatawan secara nasional.

Mengingat sedemikian kompleknya dampak yang diakibatkan oleh kebakaran hutan sudah selayaknya kita semua mewaspadai. Sekalipun tinggal jauh dari hutan, menumbuhkan kesadaran akan bahaya kebakaran hutan mungkin salah satunya.

TATA CARA PELAKSAAN AMDAL 1

PROSEDUR DAMPAK LIMBAH INDUSTRI TERHADAP LINGKUNGAN

Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga). Ada sampah, ada air kakus (black water), dan ada air buangan dari berbagai aktivitas domestik lainnya (grey water). Limbah padat lebih dikenal sebagai sampah. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia senyawa organik dan senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.

  • Pengolahan Limbah

Beberapa faktor yang memengaruhi kualitas limbah adalah volume limbah, kandungan bahan pencemar, dan frekuensi pembuangan limbah. Pengolahan limbah ini dapat dibedakan menjadi:

  1. pengolahan menurut tingkatan perlakuan
  2. pengolahan menurut karakteristik limbah

Untuk mengatasi berbagai limbah dan air limpasan (hujan), maka suatu kawasan permukiman membutuhkan berbagai jenis layanan sanitasi. Layanan sanitasi ini tidak dapat selalu diartikan sebagai bentuk jasa layanan yang disediakan pihak lain. Ada juga layanan sanitasi yang harus disediakan sendiri oleh masyarakat, khususnya pemilik atau penghuni rumah, seperti jamban.

  1. Layanan air limbah domestik: pelayanan sanitasi untuk menangani limbah Air kakus.
  2. Jamban yang layak harus memiliki akses air besrsih yang cukup dan tersambung ke unit penanganan air kakus yang benar.
  3. Layanan persampahan.
  4. Layanan drainase lingkungan adalah penanganan limpasan air hujan menggunakan saluran drainase (selokan) yang akan menampung limpasan air tersebut dan mengalirkannya ke badan air penerima. Saluran drainase harus memiliki kemiringan yang cukup dan terbebas dari sampah.
  5. Penyediaan air bersih dalam sebuah pemukiman perlu tersedia secara berkelanjutan dalam jumlah yang cukup. Air bersih ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, minum, mandi, dan kakus saja, melainkan juga untuk kebutuhan cuci dan pembersihan lingkungan.

Akhir-akhir ini, kondisi pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sektor industri berpengaruh besar terhadap kondisi pencemaran di Indonesia. Kami sangat berharap agar para pelaku industri mulai melakukan perbaikan dan pembenahan dalam hal pembuangan limbah sehingga kegiatan industri dapat berjalan seiring dengan pelestarian lingkungan.

1.Limbah Industri Pangan

Sektor Industri/usaha kecil pangan yang mencemari lingkungan antara lain : tahu, tempe, tapioka dan pengolahan ikan (industri hasil laut). Limbah usaha kecil pangan dapat menimbulkan masalah dalam penanganannya karena mengandung sejumlah besar karbohidrat, protein, lemak, garam-garam, mineral, dan sisa-sisa bahan kimia yang digunakan dalam pengolahan dan pembersihan. Air buangan (efluen) atau limbah buangan dari pengolahan pangan dengan Biological Oxygen Demand (BOD) tinggi dan mengandung polutan seperti tanah, larutan alkohol, panas dan insektisida. Apabila efluen dibuang langsung ke suatu perairan akibatnya menganggu seluruh keseimbangan ekologik dan bahkan dapat menyebabkan kematian ikan dan biota perairan lainnya.

2.Limbah Industri Kimia & Bahan Bangunan

Industri kimia seperti alkohol, parfum & minyak pelumas (oli) dalam proses pembuatannya membutuhkan air sangat besar, mengakibatkan pula besarnya limbah cair yang dikeluarkan ke lingkungan sekitarnya. Air limbahnya bersifat mencemari karena didalamnya terkandung zat kimia berbahaya, senyawa organik dan anorganik baik terlarut maupun tersuspensi serta senyawa tambahan yang terbentuk selama proses permentasi berlangsung. Industri ini mempunyai limbah cair selain dari proses produksinya juga, air sisa pencucian peralatan, limbah padat berupa onggokan hasil perasan, endapan Ca SO4, gas berupa uap alkohol. Kategori limbah industri ini adalah limbah bahan berbahaya beracun (B3) yang mencemari air dan udara. Gangguan terhadap kesehatan yang dapat ditimbulkan efek bahan kimia toksik

  1. Keracunan yang akut, yakni keracunan akibat masuknya dosis tertentu kedalam tubuh melalui mulut, kulit, pernafasan dan akibatnya dapat dilihat dengan segera, misalnya keracunan H2S, Co dalan dosis tinggi. Dapat menimbulkan lemas dan kematian. Keracunan Fenal dapat menimbulkan sakit perut dan sebagainya.
  2.  Keracunan kronis, sebagai akibat masuknya zat-zat toksis kedalam tubuh dalam dosis yang kecil tetapi terus menerus dan berakumulasi dalam tubuh, sehingga efeknya baru terasa dalam jangka panjang misalnya keracunan timbal, arsen, raksa, asbes dan sebagainya.

Industri fermentasi seperti alkohol disamping bisa membahayakan pekerja apabila menghirup zat dalam udara selama bekerja apabila tidak sesuai dengan Threshol Limit Valued (TLV) gas atau uap beracun dari industri juga dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat sekitar. Kegiatan lain sektor ini yang mencemari lingkungan adalah industri yang menggunakan bahan baku dari barang galian seperti batako putih, genteng, batu kapur/gamping dan kerajinan batu bata. Pencemaran timbul sebagai akibat dari penggalian yang dilakukan terus-menerus sehingga meninggalkan kubah-kubah yang sudah tidak mengandung hara sehingga apabila tidak direklamasi tidak dapat ditanami untuk ladang pertanian.

3.Limbah Industri Sandang Kulit & Aneka

Sektor sandang dan kulit seperti pencucian batik, batik printing, penyamakan kulit dapat mengakibatkan pencemaran yang beresiko tinggi terhadap lingkungan karena dalam kegiatannya proses pencucian terhadap bahan-bahan bakunya memerlukan air sebagai mediumnya dalam jumlah yang besar. Proses ini menimbulkan air buangan (bekas Proses) yang besar pula, dimana air buangan mengandung sisa-sisa warna, BOD tinggi, kadar minyak tinggi dan beracun (mengandung limbah B3 yang tinggi).

4.Limbah Industri Logam & Elektronika.

Bahan buangan yang dihasilkan dari industri besi baja dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Sebagian besar bahan pencemarannya berupa debu, asap dan gas yang mengotori udara sekitarnya. Selain pencemaran udara oleh bahan buangan, kebisingan yang ditimbulkan mesin dalam industri baja (logam) mengganggu ketenangan sekitarnya. Kadar bahan pencemar yang tinggi dan tingkat kebisingan yang berlebihan dapat mengganggu kesehatan manusia baik yang bekerja dalam pabrik maupun masyarakat sekitar. Walaupun industri baja/logam tidak menggunakan larutan kimia, tetapi industri ini mencemari air karena buangannya dapat mengandung minyak pelumas dan asam-asam yang berasal dari proses pickling untuk membersihkan bahan plat, sedangkan bahan buangan padat dapat dimanfaatkan kembali. Bahaya dari bahan-bahan pencemar yang mungkin dihasilkan dari proses-proses dalam industri besi-baja/logam terhadap kesehatan yaitu :

  • Debu, dapat menyebabkan iritasi, sesak nafas
  • Kebisingan, mengganggu pendengaran, menyempitkan pembuluh darah, ketegangan otot, menurunnya kewaspadaan, kosentrasi pemikiran dan efisiensi kerja.
  • Karbon Monoksida (CO), dapat menyebabkan gangguan serius, yang diawali dengan napas pendek dan sakit kepala, berat, pusing-pusing pikiran kacau dan melemahkan penglihatan dan pendengaran. Bila keracunan berat, dapat mengakibatkan pingsan yang bisa diikuti dengan kematian.
  • Karbon Dioksida (CO2), dapat mengakibatkan sesak nafas, kemudian sakit kepala, pusing-pusing, nafas pendek, otot lemah, mengantuk dan telinganya berdenging.
  • Belerang Dioksida (SO2), pada konsentrasi 6-12 ppm dapat menyebabkan iritasi pada hidung dan tenggorokan, peradangan lensa mata (pada konsentrasi 20 ppm), pembengkakan paru-paru/celah suara.
  • Minyak pelumas, buangan dapat menghambat proses oksidasi biologi dari sistem lingkungan, bila bahan pencemar dialirkan kesungai, kolam atau sawah dan sebagainya.
  • Asap, dapat mengganggu pernafasan, menghalangi pandangan, dan bila tercampur dengan gas CO2, SO2, maka akan memberikan pengaruh yang membahayakan seperti yang telah diuraikan diatas.